Multikultural secara etimologi marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Konsepsi multikulturalisme diawali oleh perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni kelompok anglo-saxon dan franco di pusat kekuasaan Kanada. Pandangan ini di amini juga oleh penulis buku Rethinking Multiculturalism, Bikhu Parekh (2001). Parekh mengatakan bahwa gerakan multikultural pertama kali muncul di Kanada dan Australia sekitar tahun 1970-an, kemudian menyebar di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Multikultural sering diidentikkan dengan pluralisme, padahal
ada beberapa perbedaan diantara kedua konsep tersebut. Ada beberapa istilah
lain yang konseptual tampak mirip dengan terminologi multikulturalisme tetapi
sebenarnya berbeda. Misalnya pluralisme, divertas, heterogenitas atau yang
sering disebut dengan istilah "masyarakat majemuk".
Menurut Furnivall, masyarakat majemuk (plural societes) adalah
suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan
politik.
Clifford Geertz mengatakan bahwa masyarakat majemuk
merupakan masyarakat yang terbagi kedalam subsistem-subsistem yang lebih kurang
berdiri sendiri dan masing-masing subsistem terikat oleh ikatan-ikatan
primordial.
Pluralisme dalam masyarakat majemuk pada dasarmnya memiliki
beberapa makna , yakni 1. Sebagai
doktrin 2. Sebagai model 3. Keterkaitannya dengan konsep lain
1. Sebagai doktrin
, Pluralisme sering dimaknai bahwa dalam
setiap hal , tidak ada satupun sebab bersifat tunggal . atau ganda bagi
terjadinya perubahan masyarakat
2. Sebagai model ,
Pluralisme memungkinkan terjadinya peran individu atau kelompok yang beragam
dalam masyarakat
3. Dalam
keterkaitannya dengan konsep lain , Pluralisme merupakan suatu pandangan bahwa
sebab dari sebuah peristiwa social harus dapat diuji melalui interaksi dari
beragam factor dan bukan dianalisis hanya dari satu factor semata dan
keberagaman factor itu adalah factor kebudayaan
Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menerangkan
masyarakat multikultur. Liliweri mengidentifikasikan tujuh tokoh sebagai
perintis teori-teori multikultur.
1. Sokrates
Gagasannya yang dekat dengan makna multikultur adalah
tentang self-knowledge. Menurutnya , self-knowledge merupakan mahkota dari
pendidikan setiap individu. Pengembangan self-knowledge hanya dapat dilakukan
ketika seseorang tengah beranjak dewasa.
2. Plato
Plato tidak menyebut secara eksplisit tentang multikultur al
, tetapi prinsip-prinsip multicultural telah diperkenalkan dalam sebuah
rancangan kurikulum pendidikan liberal art , yang kualitasnya sepadan dengan
kurikulum ilmu atau pendekatan ekonomi maupun politik. Yang dimaksud dengan
liberal art adalah semua bagi semua. Jadi semua orang memiliki kebebasan untuk
mengetahui semua hal.
3. Jean Piaget
Piaget yakin bahwa setiap perkembangan individu tidak hanya dalam hal pengetahuan
dan kemampuan, tetapi juga kemampuan untuk bersikap empati. Empati adalah
persepsi individu tentang kemiripan antara self dan other. Empati harus
dipahami sebagai proses untuk membuat perasaan seorang individu menjadi semakin
intim dengan perasaan orang lain , yang pada saatnya menumbuhkan sebuah
pengertian. Inilah arti penting dari empati yaitu mencegah prasangka atau sikap
yang tidak bersahabat.
4. Horace kalen
Kallen merupakan orang pertama yang mengkrontruksi teori pluralisme budaya. Menurutnya jika
berbagai kebudayaan yang beragam atau perbedaan yang bervariasi itu dibiarkan
hidup dan berkembang dalam suatu bangsa, maka upaya kearah persatuan nasional
telah dilakukan.
5. James A.Bank
Banks dikenal sebagi perintis pendidikan multikultur.
Menurutnya bagian terpenting dari pendidikan adalah mengajarkan “bagaimana cara
berfikir” dan bukan mengajarkan “apa yang difikirkan”. Dengan demikian seorang
siswa harus menjadi pemikir kritis dengan latar belakang pengethauan dan
keterampilan ditambah dengan komitmen.
6. Bill Martin
Dalam karya nya Multiculturalism: Consumerist or
Transformation. Martin menuangkan gagasannya bahwa smua isu yang berkaitan
dengan pengembangan multikulturalisme tumbuh dalam sebuah pertanyaan tenatng
perbedaab cara pandang , seperti yang dilakukan oleh para filsuf dan teoritikus
social.
7. Martin J.Beck
matustik
Matustik menyampaikan gagasannya bahwa
segala bentuk perdebatan yang dilakukan oleh masyarakat barat berkaitan dengan
hokum atau tatanan dari sebuah masyarakat multicultural. Dalam artikelnya Ludic
Corporate and Imperialism Multiculturalism : impostoes of Democracy and
Cartographers of the New Wold Order , Matustik mengatakan bahwa kebudayaan ,
politik dan perang ekonomi sudah muncul.
Van den Berghe ( dalam Zulyani Hidayah , 1999 ) memberikan
cirri-ciri masayarakat multicultural sebagi berikut :
1. Terjadinya
segmentasi ke dalam kelomppok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan
atau lebih tepat sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur
social yang berbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplemer.
3. Kurang
mengembangkan consensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai
social yang bersifat dasar
4. Secara relative
sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya
5. Secara relative
integrasi social tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan didalam bidang
ekonomi
6. Adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Masyarakat Plural
adalah dasar pembentuk masyarakat multikultural. Dalam masyarakat multikultural
terjadi interaksi dan dialog antar budaya.
Dalam perspektif Indonesia, konsep masyarakat multikultural
bersifat inhern dalam masyarakat sejak dahulu kala.
II.2.
Kelompok-kelompok Sosial Dalam Masyarakat Multikultur di Indonesia
Dalam masyarakat secara nyata dapat dilihat adanya
kelompok-kelompok sosial. Semakin maju suatu masyarakat maka semakin beragam
kelompok sosial yang ada. Kelompok sosial ini makin menambah kemajemukan maka
dalam masyarakat terdapat multikulturan.
Kelompok merupakan konsep yang sangat umum dipakai dalam
sosiologi dan antropologi. Sebenarnya kelompok merupakan kumpulan manusia yang
memiliki syarat-syarat tertentu.
Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kumpulan
manusia baru dapat disebut sebagai kelompok social apabila memenuhi persyaratan
sebagi berikut :
1. Setiap anggota sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari
kelompok yang bersangkutan
2. Terdapat hubungan timbale balik antara anggota yang satu
dengan anggota yang lainnya
3. Terdapat factor bersama yang dimiliki oleh
anggota-anggota kelompok tersebut , sehingga hubungan di antara mereka
bertambah erat.
4. Berstruktur , berkaidah , dan mempunyai pola perilaku
Sementara , Robert Biersted memberikan tiga criteria
terhadap kumpulan manusia agar bisa disebut kelompok yaitu :
1. Ada atau tidaknya
organisasi
2. Ada atau tidaknya
hubungan social di antara warga kelompok
3. Ada atau tidaknya
kesadaran jenis diantara orang-orang yang ada dalam kelompok di maksud.
Berbagai tipe kelompok social yang terdapat di dalam
masyarakat multicultural dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi sebagai
berikut :
1. Klasifikasi
berdasarkan jumlah anggota. Berdasarkan jumlah anggotanya kelompok-kelompok
social dapat dibedakan menjadi kelompok kecil , dan kelompok besar.
2. Klasifikasi
berdasarkan makna kelompok bagi anggotanya berdasarkan makna kelompok bagi
maisng-masing anggotanya dibedakan adanya kelompok primer dan kelompok sekunder
3. Klasifikasi
berdasarkan sikap anggota terhadap kelompoknya dan kelompok lain dapat
dibedakan menjadi kelompok dalam dengan kelompok lain atau kelompok-kelompok
luar
4. Klasifikasi
berdasarkan sifat ikatan antaranggota, dapat dibedakan menjadi Gemeinschaft
gesellschaft Tonnies menyatakan Gemeinschaft adalah kehidupan bersama yang
akrab , bersifat pribadi dan eklusif serta merupakan suatu keterkaitan yang
dibawa sejak lahir.
II.3.
Perkembangan Kelompok Sosial pada Masyarakat Multikultur di Indonesia.
Kelompok social bukanlah merupakan kelompok yang statis
karena setiap kelompok social selalu mengalami perkembangan atau perubahan.
Perkembangan kelompok social dapat di pengaruhi oleh factor lain dari dalam
maupun luar. Jika dilihat dari sudut pandang relasi antar kelompok , maka
perkembanagn kelompok social bisa disebabkan oleh bergbagai pola relasi antar
kelompok.
Tiap-tiap kelompok masyarakat di Indonesia saling
berhubungan satu sama lain. Masing-masing kelompok membentuk jaringan hubungan
dengan kelompok-kelompok lain dalam suatu system social. Hubungan antar kelompok
tersebut dapat berupa kerja sama , persaingan bahkan konflik. Hubungan yang
terbentuk antar kelompok masyarakat di Indonesia tergntung pada latar belakang
social-kultural dari hubungan yang mereka jalani dengan segala perkembangannya.
Beberapa kemungkinan pada relasi antar kelompok social yang
terdapat dalam masyarakat multicultural bisa berupa : Genosida , segregasi ,
Resistensi , Diskriminasi , dan Amalgamasi
Genosida merupakan pembunuhan secara sistematis untuk menghancurkan
kelompok ras , etnis atau agama tertentu. Rasisme adalah keyakinan bahwa ras
tertentu lebih superior atau lebih inferior daripada ras yang lainnya ,
sehingga ras yang superior bisa lebih berwenang dan berlaku sewenang-wenang
terhadap ras yang inferior.
Segresi adalah pemisah kelompok rasa tau etnis tertentu secara
paksa. Segresi merupakan bentuk pelembagaan deskriminasi yang di terapkan dalam
struktur social.
Resistensi adalah salah satu strategi yang dilakukan oleh kelompok
minoritas untuk menghindarkan diri dari konfrontasi.
Kemudian
diskriminasi adalah perlakuan tidak adil yang
dilakukan secara sengaja terhadap orang / kelompok lain. Dan Amalgamasi merujuk
pada hasil akhir yang diperoleh jika
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas di satukan untuk membentuk kelompok
baru.
Nasikun (dalam Suriakusumah, 1999:718) mengungkapkan bahwa
terdapat beberapa factor yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman suku bangsa
, agama dan kelompok-kelompok social lainnya dalam masyarakat Indonesia.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
1. Keadaan geografis
yang membagi wilayah Indonesia atas 13.667 pulau yang tersebar di suatu daerah
equator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari timur dan lebih dari 1000 mil dari
utara ke selatan.
2. Kenyataan bahwa
Indonesia terletak di antara samudra Hindia dan samudra Pasifik. Kenyataan
letak yang demikian ini sanagta mempengaruhi terciptanya pluralism agama di
dlaam masyarakat Indonesia melalui pengaruh kebudayaan bangsa lain.
3. Iklim yang berbeda
dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan
nusantara ini merupakan factor yang menciptakan pluralistis regional di
Indonesia.
Adapun diferensiasi
sosial yang melingkupi struktur social dalam kemajemukan masyarakat
indonesia adalah :
1. Diferensiasi
yang disebabkan oleh perbedaan adat
istiadat (custome differentiation) yang terjadi karena perbedaan etnik , budaya
, agama dan bahasa
2. Diferensiasi yang
disebabkan oleh structural (structural differentiation) , hal ini disebabkan
oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik sehingga menyebabkan
kesenjangan social di antara etnik yang berbeda.
Sejarah pertikaian antar etnis skala besar yang juga pernah
terjadi adalah pertikaian antara etnis Madura dan etnis dayak di Kalimantan
yang sampai terjadi dua kali. Ribuan jiwa melayang , hara benda ludes , puluhan
ribu orang menjadi pengungsi di Negara sendiri. Bahkan pada daerah-daerah yang
pernah menjadi tempat berlangsungnya program transmigrasi hamper selalu timbul
friksi-friksi kecil antara warga asli dan warga pendatang. Mengacu pada uraian
di atas , maka konsekuensi yang di hadapai indonesia sebagai masyarakat
multikultur adalah mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut :
1. Etnik dan etnisitas
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku
tertentu yang di anggap bukan asli indonesia, namun telah lama bermukim dan
berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui
cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka
benar-benar khas. Misalnya etnik Cina,arab dan Tamil india.
Menurut bart (Mendatu , 2006) , istilah etnik menunjuk pada
suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras , agama , asal-usul bangsa
ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada system nilai budayanya.
Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
a. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan
kelangsungan kelompok dengan berkembang biak
b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama , dan sadar akan
rasa kebersamaanya dalam suatu bentuk budaya
c. Membentuk jaringan kmunikasi dan interaksi sendiri
d. Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh
kelompok dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Dalam antropologi ada tiga perspektif teori yang dpaat
digunakan untuk membahas mengenai etnisitas yaitu : 1. Teori Premoldial,
2.Teori Situasional , 3. Teori
Relasional
Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan
para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri
melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan bats-batas etnis yang di yakini
bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu.
Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar
dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
Salah satu faktor luar yang berpengaruh terhadap etnisitas
adalah kolonialisme yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah
mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras.
Teori Relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok
etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan
maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan
pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih
entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik.
Jadi berbicara tentang etnisitas tetap tidak kehilangan
momentum . Hanya saja , pemahaman
mengenai mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagi
kategori orang-orang karena budaya dan
darah , tetapi lebih penting lagi karena telah menjadi kategori identitas
politis , dimana identitas etnis tetap di pertahankan karena memang bermanfaat.
Demikianlah , identitas etnis sengat penting artinya di
indonesia. Umumnya orang indonesia melakukan pengolhan informasi social orang lain berdasarkan skema kognitif
berbasis asal etnik. Hal ini merupakan kewajaran karena indonesia memang di konstruksi
atas sub-sub yang berupa kelompok etnik. Sementara itu di beberapa Negara yang
lain , misalnya di Amrika serikat , Jerman dan Prancis, ras menjadi kategori
utama .
Menurut Keefe , identitas etnis terdiri dari dua elemen
yaitu :
a. Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui
ponsel kognitif
b. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang
merupakan elemen afektif.
Identitas etnik merupakan fenomena objektif dan subjektif
(Hokoy
dalam Mandatu,2006). Fenomena objektif manakala seseorang
menegaskan identitas etniknya melalui kriteria-kriteria
tertentu yang
pasti.
Identitas etnik merupakan fenomena subjektif karena
terkandung
derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok
etnisnya.
2. Ethosentris dan
Primordialisme
Sebagai konsekuensi dari
identitas etnis munculnya etnosentris, menurut Matsumodo (Mendatu,2006) , etnosentris adalah kecenderungan untuk
melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi
ini etnosentris tidak selalu negative sebagaimana umumnya dipahami. Etnosentris dalam hal
tertentu juga merupakan hal positif. Etnosentris jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara
karena etnosentris memang fungisional. Dalam hal ini , etnosentris fleksibel
lah yang harus dikembangkan. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat
etnosentris fleksibel menurut Matsumoto adalah:
1. Mengetahui
bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam
cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian
tentang kesopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan
merupakan kesopanan dalam budaya lain.
2. Mengakui dan
menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas dan bahwa versi
mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana
versi kita sah dan benar untuk kita.
3. Mengetahui mengenai
budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara
memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan
etnosentris fleksibel. Harus juga dipelajari bagaimana untuk membedakan antar
emosi , penilaian terhadap moralitas dan penilaian tergadap kepribadian yang
sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Paham yang sangat sensitif terhadap konflik selain
etnosentrisme adalah sikap primordialisme. Ini artinya, akan timbul rasa bahwa
suatu kelompok lebih baik dari kelompok lainnya. Pada akhirnya primordialisme
dapat menimbulkan berbagai masalah yang sering tidak disadari, seperti
tumbuhnya sikap prasangka atau diskriminasi terhadap kelompok lain.
3. Prasangka
Etnik
Prasangka adalah cara pandang atau perilaku seseorang
terhadap orang lain secara negative. Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Myrdal , bahwa prasangka merupakan pembenaran atas perlakuan yang
membeda-bedakan kelompok-kelompok ras. Definisi ini membawa pada suatu kenyataan bahwa prasangka sangat potensial
menimbulkan sebuah kesalahpahaman. Suatu prasangka berangkat dari adanya
pandangan negative dengan adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompok
ku (in-group) dan perasaan kelompok lain (out-group).
Horton dan Hunt (1992:65) mengemukakan penyebab munculnya
prasangka sebagi berikut :
Pertama, : Sikap
etnosentrisme yang cenderung membuat penilaian bahwa kelompok in group adalah
yang paling baik
Kedua, : Adanya
kenyataan bahwa dalam menghadapi orang luar atau kelompok luar apalagi yang
masih asing, seseorang cenderung memberikan stereotip , meskipun tidak selalu
benar.
Ketiga, : Seseorang
sering menggeneralisasi terhadap suatu kelompok
Keempat, : Seseorang
cenderung menentukan stereotip tentang anggapan bagaimana seharusnya dalam
hubungan antar kelompok
Kelima, : Seseorang
cenderung melakukan prasangka terhadap orang yang bersaing dengan dirinya
Berdasarkan uraian diatas maka sebuah prasangka erat
kaitannya dengan stereotip. Menurut Ahmadi, stereotip dapat diartikan sebagai
sebuah gambaran atau angan-angan terhadap individu atau kelompok yang terkena
prasangka. Prasangka dapat terjadi akibat adanya pewarisan-pewarisan yang
salah, sehingga setiap individu atau kelompok mempunyai stereotip etnik yang
buruk yang kemudian mengkristal dan menjelma menjadi diskriminasi. Dalam segi
hubungan antarkelompok etnik, diskriminasi merupakan cara memperlakukan
seseorang berdasarkan pada klasifikasi kelompok, bukannya berdasarkan ciri-ciri
individu. Diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok dominan agar dapat
mempertahankan hak-hak istimewanya.
4. Kelompok Minoritas dan Kelompok Mayoritas
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri
fisik tubuh atau asal usul keturunannya atau kebudayaan di pisahkan dari
orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil
dalam masyarakat dimana mereka itu hidup.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan
pertentangannya dengan kelompok mayoritas , yaitu mereka yang menikmati status
sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak, mereka ini mengembangkan
seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya.
Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya :
1. Perasaan
superioritas pada mereka yang tergolong dominan.
2. Sebuah perasaan
yang secara instriksik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang
rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang
asing
3. Adanya klaim pada
golongan dominan bahwa sebagi akses sumber daya yang ada adalah merupakan hk
mereka dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan
rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya sumber daya tersebut.
Dalam perspektif ini, mayoritas dan minoritas dilihat
sebagai hubungan kekuatan. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau
pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan
mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil
(minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan
minoritas di diskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu sebesar
kekuatannya.
5. Masalah
Disintegrasi Bangsa
Menurut Mashudi Noorsalim (Semendwai, 2005 ) ada empat
persoalan besar berkaitan dengan isu hak hak minoritas dalam kaitannya dengan
multikulturalisme dan dilema Negara bangsa , yaitu :
a. Fakta bahwa keanekaragaman suku bangsa , ras ,agama dan
golongan sosial-ekonomi , semakin diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang
kepulauan , penduduk yang tinggal terpisah-pisah satu sama lain, mendorong
meningkatnya potensi disintegrasi
b. Premis antropologi bahwa nasionalisme dan Negara
seyogyanya dibicarakan mulai dari akarnya , yakni mulai dari konsep-konsep “suku
bangsa” , “kelompok etnik” , dan “etnisitas” , jelas menunjukkan bahwa apabila semangat nasionalisme luntur
karena berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang
menguat. Dengan kata lain , meningkatnya semangat primoldial (antara lain
kesukubangsaan) di tanah air akhir-akhir ini adalah indikasi melunturnya
nasionalisme.
c. Hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta
pengaturan keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi
pada kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistis maka fakta pluralism ,
diferensiasi , dan hierarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat. Dalam
kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan karena tertutup oleh kebijakan
Negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis. Namun , apabila
pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikulturalisme , maka hak-hak
minoritas akan semakin dihargai. Yang perlu diperhatikan adalah upaya membangun
bangsa yang multicultural itu berhadapan dengan tantangan berat, yaitu fakta
keanekaragaman yang luas dalam konteks geografi , populasi , suku bangsa ,
agama dan lainnya.
d. Perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi
seperti politik penyeragaman nasional
dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal yang lumrah dalm
politik pemeliharaan Negara bangsa.
II.4. Keanekaragaman Kelompok Sosial Dalam Masyarakat
Multikultural di Indonesia
Menurut Max Weber ,
dalam masyarakat multikultural terdapat beberapa macam kelompok sosial yang
berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, walaupun mereka
termasuk dalam suatu masyarakat yang sama. Berbagai tipe kelompok sosial dalam
masyarakat multikultural tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa
kriteria sebagai berikut :
a. Klasifikasi berdasarkan jumlah anggota. Berdasarkan
jumlah anggotanya kelompok-kelompok social dapat dibedakan menjadi kelompok
kecil dan kelompok besar
b. Klasifikasi berdasarkan makna kelompok bagi anggotanya ,
maka kelompok social dapat dibedakan menjadi kelompok primer dan kelompok sekunder
c. Klasifikasi berdasarkan sikap anggota terhadap
kelompoknya dan kelompok lain , maka kelompok social dibedakan menjadi kelompok
dalam dan kelompok luar
d. Klasifikasi berdasarkan sifat ikatan antar anggota
Aneka ragam kebudayaan masing-masing suku bangsa di
indonesia , berdasarkan ekosistemnya oleh Clifford Geertz (dalm Zulyani Hidayah
) , dikelompokkan kedalam tiga tipe sebagi berikut :
a. Kebudayaan yang
berkembang di “indonesia dalam”(Jawa , Bali)
Kebudayaan yang berkembang di Indonesia dalam ditandai oleh
tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah menggunakan
system pengairan dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah. Dengan
demikian kebudayaan di Jaw yang menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumlah
besar disertai peralatan yang relative lebih konflek itu merupakan perwujudan
upaya manusia secara lebih berani mengubah ekosistemnya untuk kepentingan
masyarakat yang bersangkutan.
b. Kebudayaan yang
berkembang di “Indonesia Luar”
Kebudayaan di luar JAwa kecuali disekitar danau Toba ,
dataran tinggi Sumbar , dan Sulawesi Barat Daya , berkembang atas dasar
pertanian perladangan yang ditandai dengan jarangnya penduduk yang pada umunya
baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu kearah hidup bertani. Oleh karena
itu , mereka cenderung untuk menyelesaikan diri mereka dengan ekosistem yang
ada , demi untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat yang bersangkutan ,
kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan alam , dan kebudayaan masyarakat
peladang serta pemburu yang masih sering berpindah tempat.
c. Aneka ragam
kebudayaan yang tidak termasuk kedalam kebudayaan “Indonesia Dalam “ maupun
“Indonesia Luar”
Kategori ini meliputi kebudayaan orang Toraja di Sulawesi
selatan , orang Dayak di pedalaman Kalimantan , orang Halmahera , suku-suku di
pedalaman Seram di Nusa Tenggara , orang GAyo di Aceh , orang Rejang di
Bengkulu dan Lampung di Sumatera Selatan. Pada umunya kebudayaan mereka
berkembang diatas system pencaharian perladanagn atau penanam padi diladang ,
sagu , jagung maupun akar-akaran.
Jika ditinjau berdasarkan daerahnya , keanekaragaman budaya
masyarakat indonesia oleh Koentjaraningrat dibagi kedalam beberapa tipe budaya
sebagai berikut :
a. Tipe budaya masyarakat berdasarkan system berkebun yang
sangat sederhana , dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dlaam
kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman padi tidak di biasakan , sisitem
dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan
stratifikasi yang berarti : gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi ,
kebudayaan perunggu , kebudayaan Hindu agama Islam tidak di alami. Isolasi
tersebut akhirnya dibuka oleh Zending atau Missie.
b. Tipe budaya
masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam diladang atau di sawah dengan
padi sebagai tanaman pokok. System dasar kemasyarakatan berupa komunitas petani
dengan diferensiasi dan stratifikasi social yang sedang dan yang merasa
bagian-bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar dengan suatu bagian
atas yang dianggap lebih halus dan beradab didalam masyarakat kota.
c. Tipe budaya masyarakat pedesaan berdasarkan sistem
bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar
kemasyarakatan berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi
sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang menjadikan arah orientasinya
mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban
kepegawaian yang dibawa oleh system pemerintah kolonial.
d. Tipe budaya masyarakat kota yang mempunyai ciri-ciri
pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah . Contoh,
budaya local dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten
dan provinsi-provinsi di Indonesia
e. Tipe budaya masyarakat metropolitan yang mulai
mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti tetapi
masih didominasi oleh aktivitas
kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan
kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional.
Berikut ini adalah kehidupan berbangsa suku bangsa yang
menggambarkan kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan:
a. Suku bangsa
aceh
Suku bangsa aceh merupakan hasil pembauran beberapa bangsa
pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu dari Arab , India
, Persia , Turki , Melayu dan lain-lain.
Bentuk kelompok kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh
adalah keluarga inti , karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah ,
ibu , dan anak-anaknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah Bilineal.
Kerabat dari pihak ayah disebut wali sedangkan kerabat dari pihak ibu disebut
karong.
b. Suku bangsa
Baduy
Orang baduy dianggap juga sebagai bagian dari suku bangsa Sunda karena sebagian besar
unsure budaya dan bahsanya sama dengan
kebudayaan Sunda. Masyarakat Baduy terbagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok
Baduy Dalam yang disebut juga Urang Kejeroan, dan kelompok Baduy Luar yang
disebut juga Urang Kaluarang atau Urang Penamping.
Pemimpin masyaarakat Badui secara adat dan spiritual adlaah
seorang seorang pu’un yang berkedudukan diwilayah kajeroan yang sering pula
disebut tangtu atau Baduy Dalam. Orang Baduy nampaknya juga mempunyai pelapisan
social , yaitu :
a. Pertama adalah kelompok pu’un dan kerabatnya
b. Kedua kelompok
pembantu pu’un seperti baeresan , tangkesan ,
jaro tangtu , jaro dangka dan palawari
c. Ketiga kelompok
pemimpin formal seperti lurah , dan para pmbantunya , jaro pareman dan dukun.
d. Yang terakhir
orang Baduy Dangka
c. Suku bangsa Sikka
Suku bangsa Sikka berdiam di daerah antara Lio dan
Larantuka, Kabupaten Sikka , daratan Pulau Flores , provinsi NTT. Namun Sikka
kemungkinan berasal dari kerajaan Sikka yang pernah berdiri. Mereka menyebut
dirinya dengan Ata-Sikka. Bahasa mereka sanagt dekat dengan bahasa penduduk di
pulau Solor, yaitu bersama-sama kelas bahasa Ambon-Timor dari kelompok Bahasa
Papua.
Secara umum ada tiga pendekatan dalam mengelola keragaman
budaya dan etnik di dunia :
a. Pertama , model yang mengedepankan nasionalitas , jus
soli dan civic concept of citizenship. Nasionalitas adalah sosok baru yang di
bangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku , bangsa , agama , bahasa
dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.
b. Kedua , model nasionalitas etnik yang mengacu pada
prinsip ius sanguinis, kebalikan dari ius soli. Nasionalitas etnik berlandaskan
pada kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah
dan kekerabatan dengan para pendiri bangsa.
c. Ketiga , model multicultural-etnik yang mengakui
eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman
menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi Negara dan identitas dan
asal usul warga Negara diperhatikan isu-isu yang muncul karena penerapan
kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik tetapi juga isu
mayoritas minoritas , dominan persoalannya menjadi lebih komplek bagi karena
ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan.
Selanjutnya didalam upaya mengembangkan masyarakat
multikultur United Nations for Education
Science and Cultural Organization(UNESCO) menawarkan 6 program pengembangan
yang terdiri dari :
a. Mencegah
terjadinya diskriminasi
b. Melakukan riset kebijakan mengenai pengelolaan masyarakat
yang multibudaya dan multi etnik
c. Melakukan pertemuan , pertukaran dan sirkulasi
informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi
d. Menumbuhkan
kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pengembangan masyarakat
multikultur dengan cara :
1. Melakukan pendidikan mengenai hak-hak azazi manusia dan
mendorong saling pemahaman antar budaya
2. Memperkuat
kapasitas masyarakat local , sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang
lainnya.
II.6. Peranan Pendidikan Multicultural dalam Menjaga
Integritas Bangsa.
a. Pengertian
Pendidikan Multicultural
Multicultural adalah sebuah realitas social dan merupakan
fitra manusia yang apabila dikelola secar benar akan melahirkan energy dan
sebaliknya, jika ditangani secara keliru akan menimbulkan bencana yang dahsyat.
Dengan mencermati berbagai permasalahan dan kondisi masyarakat indonesia
sebagaimana yang sudah dijelaskan , maka hal-hal yang menjadi kendala dalam
penyelesaian masalah kultikultural di Indonesia , antara lain adalah :
a. Rendahnya tingkat pengetahuan , pengalaman , dan jangkuan
komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal
terhadap budaya asing yang negative dan keterbatasan dalam menyerap serta
mengembangkan nilai-nilai yang positif sekaligus mudah sekali terprovokasi
dengan isu-isu yang di anggap mengancam eksistensinya.
b. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan
fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi
c. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan
intelektual dengan mengabaikan pengenmbangan kecerdasan emosional , pembentuklan
sikap moral , dan penanaman nilai budaya.
d. Meningkatnya gejala”societal crisis on caring” karena
tingginya mobilitas social dan transformasi cultural yang ditangkap dan
diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang dihadapi , maka upaya
penyelesaian masalah yang muncul dalam interaksi antar budaya dapat di atasi
dengan jalan :
Pertama : membangun kehidupan multicultural yang sehat
dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya melalui peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya , dengan mengenalkan berbagai
cirri khas budaya tertentu.
Kedua : peningkatan peran media komunikasi untuk melakukan
sensor secara substantive yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan
norma social yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap
subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional.
Ketiga : strategi pendidikan berbasis budaya dapat menjadi
pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip
bahwa manusia adalah factor utama sehingga manusia harus selalu merupakan
subjek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan.
Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multicultural
adalah :
Pertama : pendidikan multicultural menolak pandanagn yang
menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multicultural dengan
program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan
sebagai transisi kebudayaan juga bermaksud membebaskan pendidik dari asumsi
bahwa tanggung jawab dalam mengembangkan kompetensi kebudayan tidak semata-mata
di tanag mereka melainkan tanggung jawab semua pihak
Kedua : pendidikan ini juga menolak pandangan yang
menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini karena seringnya para
pendidik , secara tradisional mengasosiakan kebudayaan hanya dengan
kelompok-kelompok sosial yang relative self-sufficient. Oleh karena
individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek
atau bangsa , dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi dimana setiap
pemahaman sesuai , maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi
dalam sejumlah kebudayaan.
Ketiga : pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi
dalam beberapa kebudayaa. Kebudayan mana yang akan diadopsi seseorang pada
sewaktu-waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelasberkaitan , harus
dibedakan secara konseptual antara identitas-ientitas yang disandang individu
dan identitas social primer dalam kelompok etnik tertentu.
Keempat : kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan
kesadaran menegnai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita
dari konsep dwibudaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.
Carl A Grant dan Cristine E.Sleeter(2003) menjelaskan bahwa
terdapat lima tipologi pendidikan multicultural yang berkembang :
a. Mengajar mengenai kelopok siswa yang memiliki budaya yang
lain. Perubahan ini terutama pada siswa dalam transisi dari berbagai kelompok
kebudayaan ke dalam mainstream budaya yang ada.
b. Hubungan manusia. Program ini membantu siswa dari
kelompok-kelompok tetrtentu sehingga ia dapat mengikuti bersam-sama yang lain
kedalam kehidupan social
c. Single group studies. Program ini mengajarkan hal-hal
yang memajukan pluralism, tetapi tidak menekankan kepada adanay perbedaan
stratifikasi social yang ada dalam masyarakat
d. Pendidikan multicultural. Program ini merupakan sustua
reformasi pendidikan di sekoalh-sekolah dengan menyediakan kurikulum serta
materi-materi pelajaran yang menekankan kepada adanya perbedaan siswa dalam
bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralism kebudayaan dan equalitas
social
e. Pendidikan multicultural yang sifatnya rekontruksi
social. Program ini bertujuan untuk menyatukan perbedaan cultural dan menetang
ketimpangan-ketimpangan social dalam masyarakat.
b. Tujuan
Pendidikan Multukultural
Pendidikan multikultural berusaha menolong siswa
mengembankan rasa hormat kepada orang berbeda budaya , memberi kesempatan untuk
bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya
secara langsung , menolong siswa mengembangkan kebanggaan terhadap warisan
budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab
konflik antar kelompok masyarakat.
Sementara itu Banks (dalam skeel , 1995 ) mengidentifikasi
tujuan pendidikan multicultural sebagai berikut :
1. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang
keberadaan siswa yang beraneka ragam
2. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang
positif terhadap perbedaan cultural , ras , etnik , kelompok keagamaan.
3. Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajarkan mereka
dalam mengambil keputusan dan
keterampilan sosialnya
4. Untuk membnatu peserta didik dalam membangun
ketergantungan lintas budaya dan member gambaran positif kepada mereka mengenai
perbedaan kelompok
Secara konseptual , pendidikan multikultural menurut Groski mempunyai tujuan dan prinsip
sebagai berikut :
a.Setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasi mereka
b.Siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis
c.Mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam
pendidikan , dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman mereka dalam konteks
belajar
d.Mengakomodasi semua gaya belajar siswa
e.Mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang
berbeda
f.Mengembangkan siakp positif terhadap kelompok-kelompok
yang mempunyai latar belakang berbeda
g.Untuk menjadi warga yang baik di sekolah maupun di
masyarakat
Lebih lanjut Groski memberikan rincian tentang
prinsip-prinsip pendidikan multicultural sebagi berikut :
a.Pemilihan materi pelajaran harus terbuka secara budaya
didasarkan pada siswa. Keterbukaan ini harus menyatukan opini-opini yang
berlawanan dan interprestasi-interprestasi yang berbeda
b.Isi materi pelajaran yang dipilih harus mendukung
perbedaan dan persamaan dalam lintas kelompok
c.Materi pelajaran yang dipilih harus sesuai dengan konteks
waktu dan tempat.
d. Pengajaran semua pelajaran harus menggambarkan dan
dibangun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dibawa siswa ke kelas.
e. Pendidikan hendaknya memuat model belajar mengajar yang
interaktif agar supaya mudah dimengerti.
Multikultural bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus
diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM
dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi
yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya dan
multikulturalisme seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep
untuk dijadikan acuan bagi yang memahaminya dan mengembang luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
c. Dimensi-Dimensi
Pendidikan Multikultural
James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima
dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam
mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan
pelajar (siswa), yaitu:
a.Dimensi integrasi isi/materi (content integration).
Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan
dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda.
Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam
kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum
adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum
mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai
kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak
dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik
secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
b.Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).
Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami
beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin
pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman
para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
c.Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction).
Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam
mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh,
ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki
kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya,
pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih
positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud
adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan
kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan
terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah
dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman
terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga
menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain
dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk
mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis
strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih
bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
d.Dimensi pendidikan yang sama/adil atau kesetaraan dalam
pendidikan (equitable pedagogy).
Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas
pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa
dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan
sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk
kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif
(competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang
untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk
kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan
memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh
kesempatan belajar.
e.Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial
(empowering school culture and social structure).
Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang
dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu,
dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan
potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah
setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial,
latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam
merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
d. Tahap-Tahap
Pengembangan Pendidikan Multikultural
Gay mengemukakan empat tahap pengembangan pendidikan
multikultural (dalam Walsh & Agatucci, 2001), yaitu :
1. Inclusion. Pada tahap ini kelompok etnis dipelajari
secara tunggal, dan biasanya pelajaran berpusat pada tokoh pahlawan dari etnis
yang bersangkutan.
2. Infusion. Pada tahap kedua ini pendidikan multi kultural
ditekankan pada pengintegrasian isi, konteks, contoh, dan pandangan yang
berbeda ke dalam kurikulum.
3. Deconstruction, dimana pendidikan multikultural memberi
kesempatan siswa untuk memandang konsep dari perspektif yang berbeda-beda
sebagai bagian dari proses berpikir kritis dalam keanekaragaman budaya.
4. Transformation, yakni fokus pendidikan multikultural
terletak pada proses memikirkan dan mengimajinasikan penjelasan-penjelasan baru
tentang situasi sosial yang secara kultural berbeda-beda.
Materi pembelajaran multikultural dengan pendekatan multiple
perspectives, hendaknya diorganisasi dengan menggunakan beberapa pendekatan,
yaitu pendekatan kontribusi (contribution approach), pendekatan additive
(additive approach), pendekatan transformasi (trasaformation approach) dan
pendekatan tindatan sosial (social action approach) (Banks, 1989).
Post a Comment